CERPEN


Harapan Besar dalam Penderitaan

Pada 27 Mei 2006 tepatnya 6 tahun yang lalu, di Yogyakarta khususya Bantul mendapat musibah Gempa Bumi yang berkekuatan 5,7 SR. Tepat pukul 5.30 pagi saya sedang mandi karena hendak berangkat sekolah. Saat itu Gempa terasa sangat kencang. Saya lari keluar rumah hanya mengunakan handuk sambil berteriak “gempa gempa gempa”. Hanya dengan waktu kurang dari 1 menit rumah saya sudah rata dengan tanah. Saya bersyukur karena keluarga saya tidak ada yang menjadi korban. Saya sedih sekali, apa lagi saat melihat Ayah saya menggelengkan kepala saat melihat rumah. Yang terlihat hanyalah puing-puing bangunan.
Saat malam pertama itu saya dan keluarga saya serta masyarakat sekitar tinggal di jalan, yang hanya beratap tenda dan beralas tikar.
“Masih untung ya pak keluarga kita tidak jadi korban gempa, walau kita sekarang seperti ini.” Kata saya, sambil terteguh.
“Iya nak, tadi waktu Bapak pergi keluar cari bantuan tenda, banyak korban terlantar di sepanjang jalan.” Kata bapak sambil mendirikan tenda.
Saat itu pula turun lah hujan yang lebat, keluarga saya dan para tetangga sangat-sangat menderita. Ketika sudah larut malam semua tertidur, dan hanya tersisa aku dan bapak saya yang sedang jaga malam. Pada kondisi yang seperti ini banyak pencuri yang mencari kesempatan dalam kesempitan orang.
Pagi pun datang, saya tidak berangkat sekolah, saat itu juga saya mulai kesulitan dalam bersekolah karena buku-buku dan seragam sekolah saya tertimbun bangunan.
Sehari setelah gempa terjadi, aktivitas warga di sekitar saya tidak berjalan. Untuk makan pun harus menunggu bantuan dari para relawan. Tidak hanya saya yang tidak dapat sekolah, semua teman-teman saya pun juga tidak bersekolah.
Saya mempunyai tiga sahabat yang bernama Sultoni dan Rizky. Dia teman satu desa dan sekelas juga dengan saya. Saat itu saya datang ke rumah Sultoni.
“Sul,,bagaimana dengan sekolah kita, yang bentar lagi ujian kenaikan kelas.” Saya bertanya kepada Sultoni.
“Sudah Sat jangan mikir sekolah dulu, gak mungkin kan kita sekolah pada keadaan yang seperti ini, lagi pula sekolah juga libur Sat, karena di wilayah kita sangat parah.” Sambil bersih-bersih Sultoni menjawab pertanyaan saya.
“Terus bagaimana kalau kita tidak naik kelas, masa depan kita bagaimana?” Sambil membantu Sultoni saya bertanya lagi.
“Sattt,,semua teman-teman kita juga bernasip seperti kita. Tidak usah terlalu kwatir, besuk kalau sudah tidak seperti ini kita mulai konsen lagi.” Sambil menatap saya.
Saya pun lalu pulang ke rumah, sepanjang jalan yang saya lewati pecahan kaca akibat gempa berserakan di jalan. Tak seorang pun yang membersihkan karena mereka masih sibuk membersihkan puing-puing bangunan yang ada dalam rumah.
Sebulan kemudian saya kembali masuk sekolah, tapi keadaan sekolah masih rata dengan tanah, sehingga kami bertiga bersekolah di tengah-tengah sawah. Dengan kondisi yang seperti ini dan fasilitas yang seadanya, kami tetap bersemangat.
“Sampai kapan Bu kita berada di tenda darurat seperti ini?” Saya bertanya kepada ibu guru.
“Ya sampai sekolah kita dibangun nak.” Ibu guru menjawabnya.
Seminggu lagi ujian kenaikan kelas berlangsung.
Ujian pun dilakukan di tenda darurat di tengah-tengah sawah. Dengan kondisi seperti ini, saya dan teman-teman saya menjalankannya dengan penuh semangat.  Dari sini kami dapat belajar banyak tentang kesederhanaan.
Ujian pun berakhir, Alhamdulilah kami semua naik kelas. Saya dan keluarga saya masih tinggal di tenda darurat, tapi tetangga-tetangga saya sudah tinggal di dalam rumah, hanya keluarga saya yang masih tinggal di tenda darurat.
“Pak kapan kita bisa tinggal di rumah seperti dulu?” bertanya pada bapak.
“Sabar ya nak, sebentar lagi rumah kita jadi.” Menjawabnya dengan penuh senyum.
Rumah yang bapak saya bangun tidak lagi di daerah Bantul, kami pindah di Kulonprogo, tempat saya dilahirkan. Di sana kami menjalani kehidupan yang baru.
Tepat saya naik kelas tiga SMP, saya pindah ke rumah yang baru yang letaknya di Kulonprogo. Semakin jauh jarak sekolah dengan rumah, yang harus ditempuh selama 1 jam dengan naik motor.
“Dari rumah sampai sekolahku berapa kilo meter pak, jaraknya?” saya bertanya kepada bapak sebelum berangkat sekolah.
“kurang lebih 30 km nak.” Menjawabnya sambil menaiki motor,
Sesampai di sekolah saya langsung menuju sawah, yaitu tempat kami bersekolah, kami masih sekolah di tenda darurat.
“Sat kamu pindah rumah ya?” sultoni bertanya.
“iya Sul. Kapan-kapan maen ke rumah ku Sul.” Saya menjawabnya.
“memang daerah mana Sat?” kembali menayakan alamat rumah baru ku.
Kuloprogo Sul, dulu kamu pernah jualan mainan di sekitar sana kok, Sul.” Sambil baca-baca buku saya menjawabnya.
“woo berarti jauh now Sat.” sambil terkejut sultoni menjelaskanya.
“lumayan lah Sul, lha mau bagaimana lagi Sul, di sini sudah tidak punya rumah Sul.” Sambil tertunduk saya menjawabnya.
Tepat pukul 13.30 WIB waktu pulang sekolah. Saya pun pulang naik kendaraan umum bus. Naik kendaraan umum menempuh waktu dua jam untuk sampai rumah karena tidak ada kendaraan umum yang langsung menuju daerah rumah saya, sehingga harus lewat kota terlebih dahulu.
Setengah tahun, saya naik kendaraan umum. Sudah memasuki waktu ujian, saya naik motor sendirian agar dapat menghemat waktu dan dapat saya manfaatkan untuk belajar.
Walau usia saya belum cukup namun tetap saya beranikan, karena ini untuk masa depan.
Seminggu lagi Ujian Nasional. Sekolahan sudah hampir jadi, semua siswa mulai pindah ke gedung sekolah yang baru, kami semua kerja bakti. Serasa lega sudah bisa menduduki bangku sekolah seperti sebelum terjadi gempa bumi.
“Akhirnya kita dapat merasakan kenyamanan dalam bersekolah lagi ea teman-teman?” saya berbicara pada teman-teman.
“iya Sat..itu semua tidak luput dari doa kita dan bantuan para donator.” Kata teman saya.
“Tapi seminggu lagi kita Ujian Nasional teman, apa kalian sudah siap?” dengan rasa takut saya bertanya.
“iya..siap gak siap kita harus siap sat,, walau kita dulu sekolahnya di tengah sawah dan hanya beratapkan tenda namun kita harus selalu bersyukur Sat kita sekarang dapat ujian di tempat yang sudah layak.” Dengan tenang teman saya menjawabnya.
“iya, kamu benar teman, keterbatasan bukanlah sebuah penghalang, namun harus kita syukuri karena dibalik kesabaran ada yang indah,,ea seperti ini, kita dulu menderita namun sekarang kita dapat merasakan hasilnya.” Sambil tersenyum saya berkata.
Bel istirahat pun berbunyi. Saya dan teman-teman saya menjalankan ibadah sholat dhuha.
Setelah selesai sholat kami kembali menuju ruang kelas untuk melanjutkan pelajaran.
“Bagaimana kalau nanti pulang sekolah kita belajar bersama Sul, Ris?” saya mengajak kedua sahabat saya belajar bersama.
“ya kalau aku oke oke saja sat.” Risky menjawabnya.
“tapi di mana Sat?” Sultoni bertanya di mana belajarnya.
“Bagaimana kalau di rumahmu saja Sul?.aku juga sudah lama enggak maen ke kampung ku dulu..hehe..” sambil bergurau aku menjawabnya.
“oke Sat kalau begitu..he” sambil bergurau juga Sultoni menjawabnya.
“kamu bawa motorkan Sat?.nanti boncengan tiga gak papa kan?” Risky bertanya.
“ya gak papa nanti sekalian aja Ris.” Sambil senyum.
Setelah pulang sekolah saya dan ketiga teman saya langsung menuju rumah Sultoni untuk belajar bersama.
Seminggu sudah. Tiba saatnya Ujian Nasional, di sinilah kemampuan kami diukur. Sekolah tiga tahun hanya ditentukan selama empat hari. Rasa cemas dan takut selalu menghantu ku.
Hari pertama Ujian Nasional. Saya duduk di bangku paling depan dan depan meja guru. Mental saya benar-benar diuji.
Hari kedua, hari ketiga, dan hari terakhir, akhirnya selesai juga ujiannya. Sangat lega karena sudah terbayar sudah kewajiban saya, dan tinggal menunggu hasilnya.
Rencana saya bila lulus dengan nilai baik, saya akan mendaftar di SMA 2 Bantul. SMA yang saya idam-idamkan sejak dulu.
Waktu pengumuman pun tiba. Rasa takut semakin klimaks, namun Alhamdulilah saya lulus, namun nilai saya mengecewakan, tapi saya sudah bersyukur, dengan kondisi yang seperti dulu saya dapat menyelesaikan sekolah saya.
“Bagaimana Sul kabar nilai kamu?” saya bertanya pada Sultoni.
“mengecewakan Sat, tapi aku sudah senang dapat lulus Sat.” dengan santai sultoni menjawabnya.
Dengan nilai seperti ini saya bingung sul mau nerusin di mana.” Dengan raut wajah kecewa saya berkata.
“Yang penting kita sudah usaha Sat, jalan kesuksesan masing-masing sudah diatur Sat, kita tinggal melangkah.” Sambil senyum Sultoni menjawabnya.
Tiga minggu kemudian. Pendaftaran sekolah pun dibuka. Saya dan Bapak saya mencari sekolah, yang saya tuju hanya tiga sekolah, yaitu SMA 2 Bantul, SMA 3 Bantul, dan SMA Sanden. Saya ditrima di SMA Sanden, yang sekolahnya tidak jauh dari rumah saya yang hanya berkisar 7 km. Sudah senang saya dapat diterima di SMA Sanden, walau bukan pilihan utama saya. Tapi saya sadar SMA tidak terlalu menentukan masa depan, yang menentukan masa depan kita adalah kesungguhan kita dalam menuntut ilmu, jadi dimana saja kita bersekolah asalkan kita sugguh-sungguh pasti ada jalan kesuksesan.
Sejak itu saya jadi jarang ketemu kedua sahabat saya. Mereka sudah menentukan jalannya sendiri-sendiri.
Selama bersekolah di SMA ini saya juga mempunyai sahabat yang namanya Toto Yulianto, dia tiga tahun satu kelas dengan saya dan sudah seperti saudara sendiri.
“Kamu setelah lulus SMA ini mau kemana bang?” saya bertanya kepada Toto, saya panggil dia bang.
“Aku mau langsung kerja Sat. Orang tua saya ndak punya biaya untuk kuliahin saya dan adik-adik saya juga masih kecil-kecil, saya mau bantu Orang Tua Sat.” Menjawabnya tengan penuh harapan.
Saya terharu mendenganr peryataan dari teman saya.
“Kalau aku pengennya jadi guru bang, biar bisa merubah Negara ini..hehe” Sambil bercanda saya berkata seperti itu.
“tak doakan Sat apa yang kamu cita-citakan tercapai, tapi aku ya didoakan lho.” Sambil senyum dia berkata seperti itu.
“iya amin..jelas saya doakan bang, yang penting besuk tidak lupa kalau udah jadi orang sukses,,hehe.” saya berkata sambil bercanda.
          Setelah saya lulus SMA saya diterima di Universitas Negri Yogyakarta, saya masuk melalui jalur undangan tanpa test, saya sangat bersyukur dan sahabat saya Toto diterima kerja di Bekasi. Akhirnya saya diterima juga di Kampus yang saya idam-idamkan dan harapan saya, saya dapat lulus 4 tahun dan dapat menjadi Guru seperti yang saya Cita-citakan.


----------------Selesai-----------------


Satria Prakassiwi / 11201241007 / PBSI  FBS UNY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar