SASTRA INDONESIA

Sastra Indonesia Kontemporer


Pengertian Sastra Kontemporer
Sastra Kontemporer adalah sastra masa kini, sastra sezaman, sastra dewasa ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sastra kontemporer adalah 1 sastra yang hidup pada masa kini atau sastra yang hidup dalam waktu yang sama, 2 sastra yang berusaha nergerak mendahului zamannya.
Pengertian Sastra Indonesia Kontemporer
Sastra Indonesia Kontemporer diartikan sebagai sastra yang hidup di Indonesia pada masa kini atau sastra yang hidup di Indonesia pada masa mutakhir atau sastra yang hidup di Indonesia pada zaman yang sama.
Sejarah dan Perkembangan Sastra Indonesia Kontemporer
Pembatasan sastra kontemporer hanya terjadi di Indonesia yang muncul sekitar berakhirnya Perang Dunia Kedua. Angkatan ‘45 dianggap sebagai embrio sastra kontemporer. Alasannya adalah lahirnya proklamasi dan penggunaan bahasa Indonesia serta Nasionalisme (Budi Darma, 1996:9). Tokoh-tokoh sastra kontemporer adalah Chairil Anwar, Toto Sudarto Bachtiar, Sitor Situmorang, Taufik Ismail, Gunawan Mohammad, Soebagio Sastrowardjojo dan Sutardji Calzoum Bachri.
Puisi Indonesia Kontemporer
Pengertian Puisi
Dalam Pengantar ke Arah Studi Teori Sastra, Wirjosoedarmo (1984:15) menguraikan bahwa puisi adalah karangan yang terikat (1) banyak baris dalam tiap bait (2) banyak kata dalam tiap baris (3) banyak suku kata dalam tiap baris (4) rima dan (5) irama.
Pengertian Puisi Kontemporer
Puisi kontemporer tidak hanya terikat kepada tema, tetapi juga terikat kepada struktur fisik puisi. Puisi kontemporer adalah (1) puisi yang muncul pada masa kini yang bentuk dan gayanya tidak mengikuti kaidah-kaidah puisi pada umumnya (H, Nasution, dkk, 1998)
Pengertian Puisi Indonesia Kontemporer
Puisi Indonesia Kontemporer adalah puisi Indonesia yang lahir di dalam waktu tertentu yang berbentuk dan bergaya tidak mengikuti kaidah-kaidah puisi lama pada umumnya.
Munculnya Puisi Indonesia Kontemporer di dalam Khazanah Kesusastraan Indonesia
Istilah puisi Indonesia kontemporer mulai dipopulerkan pada 1970-an. Gerakan puisi kontemporer yang melanda dunia gaungnya terdengar di Indonesia dan memberi corak terhadap kehidupan puisi Indonesia pula. Puisi Indonesia Kontemporer di dalam dunia perpuisian Indonesia dikejutkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dengan improvisasinya yang menjadi bagian penting dari proses penciptaan puisi-puisinya.
Ciri-ciri Puisi Kontemporer
Sumardi di dalam makalahnya berjudul Mengintip Puisi Indonesia Kontemporer (dalam Dewan Kesenian Jakarta, 1979), menegaskan ciri-ciri Puisi Kontemporer sebagai berikut:
  1. Puisi yang sama sekali menolak kata sebagai media ekspresinya
  2. Puisi yang bertumpu pada simbol-simbol nonkata, dan menampilkan kata seminimal mungkin sebagai intinya.
  3. Puisi yang bebas memasukkan unsur-unsur bahasa asing atau bahasa daerah.
  4. Puisi yang memakai kata-kata supra, kata-kata konvensional yang dijungkirbalikkan dan belum dikenal masyarakat umum
  5. Puisi yang menganggap tipografi secara cermat sebagai bagian dari daya atau alat ekspresinya.
  6. Puisi yang berpijak pada bahasa inkonvensional, tetapi diberi tenaga baru dengan cara menciptakan idiom-idiom baru.
Beberapa Bentuk dari Jenis Puisi Kontemporer
  1. Puisi yang terdiri dari garis dan gambar berupa kubus segi empat.
  2. Puisi yang menggunakan simbol-simbol dengan menampilkan atau kalimat seruan yang sedikit.
  3. Puisi yang bebas memasukkan unsur-unsur bahasa asing dan bahhasa daerah.
  4. Puisi yang memakai kata-kata supra, kata-kata konvensional yang dijungkirbalikkan dan belum dikenal masyarakat umum
  5. Puisi yang menggarap tipografi secara cermat sebagai bagian daya atau alat ekspresi.
  6. Puisi yang berpijak pada bahasa konvensional, tetapi diberi tenaga baru dengan cara menciptakan idiom-idiom baru.
  7. Puisi mbeling atau puisi lagu. Puisi ini mengungkapkan hidup sosial kota-kota besar yang sering menampilkan sikap penulis yang skeptis, pesimis, anarkis, dan individualis.
  8. Puisi yang sangat memperhatikan unsur bunyi
  9. Puisi konkret atau puisi gambar dengan sepatah kata atau kalimat menyertainya. Puisi seperti ini bisanya disebut puisi rupa atau puisi seni rupa.
Cerita Pendek Indonesia Kontemporer
Pengertian Cerita Pendek
Sumardjo mengemukakan pengertian cerita pendek di dalam bukunya Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen, adalah fiksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”. Cerita pendek hanya memiliki satu arti satu krisis dan saru efek untuk pembacanya. Untuk ukuran Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai 15 halaman folio ketik (1917:184).
Sejarah Cerita Pendek Indonesia
Di Indonesia, cerita pendek bermula pada 1930-an. Pada masa ini, tokoh yang dianggap sebagai bapak cerita pendek Indonesia adalah Muhammad Kasim, Suman Hs, Armijn Pane, dan Idrus. Pada masa 1945-1955, cerita pendek berkembang maju, cerita pendek merupakan genre sastra yang sudah dapat diperhitungkan. Pada 1960-1970, cerita pendek semakin berkembang. Beberapa penulis tumbuh dalam majalah sastra Horizon diantaranya Wildan Yatim, Umar Kayam, Budi Darma dan Wilson Nadeak.
Pengertian Cerita Pendek Indonesia Kontemporer
Cerita pendek Indonesia kontemporer adalah cerita pendek yang berisikan kehidupan manusia Indonesia yang terasing dari dunianya karena gencetan suasana metropolis, yang pemberontak, yang berada ditengah-tengah pergulatan nilai-nilai saling bertentangan yang membuktikan bahwa manusia mempunyai potensi-potensi unik.
Ciri-ciri Cerita Pendek Indonesia Kontemporer
  1. Cerita pendek Indonesia kontemporer berciri antilogika
  2. Cerita pendek Indonesia kontemporer berciri mengabaikan plot.
  3. Cerita pendek Indonesia kontemporer berciri absurd.
  4. Cerita pendek Indonesia kontemporer berciri anti tokoh.
  5. Cerita pendek Indonesia kontemporer berciri terasing atau serba kompleks.
Novel Indonesia Kontemporer
Pengertian Novel
H.B. Jassin berpengertian bahwa novel adalah cerita mengenal salah satu episode dalam kehidupan manusia, suatu kejadian yang luar biasa dalam kehidupan itu, sebuah krisis yang memungkinkan terjadinya perubahan nasib pada manusia.
Sejarah Novel Indonesia
Novel Indonesia pada awalnya muncul pada Angkatan Balai Pustaka. Contoh novelnya antara lain Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Pertemuan Jodoh, Surapati, Apa Dayaku Karena Aku Perempuan. Tema-tema novel itu mencakup masalah politik, perkawinan, konflik sosial, konflik psikologis sesuai dengan zaman yang dialami oleh novelis.
Selanjutnya, muncul angkatan Pujangga Baru, angkatan 45, hingga angkatan 1966 yang memperkaya kesusastraan Indonesia.
Pengertian Novel Indonesia Kontemporer
Pengertian novel kontemporer secara sederhana adalah (1) novel yang hidup pada masa kini atau novel yang hidup pada waktu sama, (2) novel yang berusaha bergerak mendahului keadaan zamannya. Pengertian novel kontemporer secara luas adalah (1) novel yang menyimpang dari semua sistem penulisan fiksi yang ada selama ini atau yang bersifat konvensional, (2) novel yang menganggap masalah fisik dan batin dengan pola yang aneh tetapi suasana dan imaji yang sangat menakjubkan.
Kekuatan yang Menonjol dalan Novel Indonesia Kontemporer
Beberapa kekuatan yang menonjol dalam novel Indonesia kontemporer. Kekuatan-kekuatan itu adalah
  1. Pengaruh politik
  2. Kebudayaan
  3. Akar tradisi
  4. Pengaruh sejarah
  5. Psikolog
  6. Acuan
Ciri-ciri Novel Indonesia Kontemporer
Novel Indonesia kontemporer berciri sebagai berikut
  1. Antitokoh
  2. Antialur
  3. Bersuasana misteri atau gaib
  4. Cenderung mengungkapan transendental, sufistik
  5. Cenderung kembali ke tradisi lama atau warna lokal
Karya Sastra Indonesia Kontemporer
Contoh Puisi Indonesia Kontemporer
       Sutardji Chalzoum Bachri - Q
       Sutardji Chalzoum Bachri – Amuk
Contoh Cerita Pendek Indonesia Kontemporer
       Iwan Simatupang – Tunggu Aku di Pojok Jalan itu
       Umar Kayam – Istriku, Madame Schlitz, dan Sang Raksasa
Nukilan Novel Indonesia Kontemporer
       Linus Suryadi -  Pengakuan Pariyem
       Iwan Simatupang – Merahnya Merah 
 
 

Sastra Generasi Kisah


Berbeda dengan penamaan terhadap angkatan-angkatan sebelumnya, penamaan terhadap angkatan/ periode sastra setelah masa revolusi ini tidak ada yang pasti. Ajip Rosidi menamainya dengan “Angkatan Sastra Terbaru”, Jakob Sumardjo menamainya menurut penerbitannya (yakni Kisah lalu Sastra). Secara umum diberi nama “Angkatan Sastra 50-an”, bahkan HB Jassin menamai pengarang-pengarang periode 1953-1966 ini dengan nama Angkatan 66 (meski banyak yang menentangnya).
Majalah Kisah merupakan majalah sastra pertama di Indonesia (sebelumnya berupa majalah umum atau budaya). Majalah ini terbit dari tahun 1953—1957 yang kemudian kematiannya dilanjutkan dengan kelahiran majalah Sastra yang senafas dengan majalah Kisah. Majalah Sastra terbit dalam dua periode yakni 1961—1964 dan 1967—1968.
Sudjati SA  dkk menerbitkan majalah khusus yang memuat karya-karya sastra, yakni cerita pendek pada Juli 1953. Majalah ini terbit setiap bulan hingga sampai edisi Maret 1957. Selain Sudjati SA, yang duduk sebagai dewan redaksi antara lain: HB Jassin, M. Balfas, Idrus lalu juga DS Moeljanto. Banyaknya karya-karya sastra yang serba pendek seperti cerpen merupakan salah satu karakteristik karya sastra yang dimuat di majalah meskipun ada sejumlah novel(et) dan drama yang dimuat di majalah.
Ciri karya sastra Generasi Kisah :
a.       kesusastraan cerita pendek
b.      bersifat semi-otobiografis (seperti pada karya-karya Trisnoyuwono, Nugroho Notosusanto, Djamil Suherman, Yusach Ananda, S.M. Ardan, Ajip Rosidi, Sukanto S.A., Motinggo Busye, Bur Rasuanto, Bastari Asnin → hlm 150—151) berorientasi pada kesusastraan Indonesia sendiri
c.       kesusastraan yang deskriptif
Konsep Kesusastraan Pada Periode Generasi Kisah
a.       Saya bersajak karena perasaan-perasaan yang mendorong orang bertindak secara alam. Begitu saja dengan sendirinya. Jadi tanpa pertimbangan seorang intelektual (Rendra).
  1. “Angkatan terbaru sastrawan Indonesia” menjumpai nilai-nilai baru dalam kebudayaan daerah yang oleh para sastrawan Pujangga Baru dan Angkatan 45 tidak dipandang sebelah mata. Kebudayaan nasional Indone­sia akan berkembang berdasarkan kenyataan-kenyata­an yang kita jumpai dalam masy Indonesia masa kini. Dan kenyataan-kenyataan itu adalah adanya kebudaya­an daerah yang sudah tumbuh subur berakar ... (Ajip Rosidi).
  2. Sajak-sajak adalah suara dari bawah sadar ... apa yang muncul dari bawah sadar mungkin sesuatu yang me­merlu­kan diri, seolah-olah menyebabkan kita telanjang bulat di muka umum; mungkin pula bayangan angan-angan yang pelik yang hanya sekali saja menampakkan diri di depan mata hati kita (Subagio S).
Krisis Sastra
Begitu menginjak tahun-tahun permulaan kemerdekaan, terasalah adanya banyak kegagalan di segala bidang. Kegagalan politik, kegagalan ekonomi, penyelewengan, korupsi dan perubahan-perubahan lain makin terasa dalam kehidupan Indonesia yang mengantarkannya kepada krisis budaya.
Persoalan “krisis sastra” baru mendapat perhatian kaum sastrawan ketika terbit tulisan Sudjatmoko dalam majalah Konfrontasi pada pertengahan 1954. Karena pada periode ini tidak ada roman besar, malah yang ada hanya cerpen yang dangkal.
Ada dan tidaknya krisis sastra adalah akibat cara meman­dang situasi yang berbeda. Golongan yang menuduh ada krisis sastra kebanyakan golongan “tua”. Hal ini sebenar­nya hanya mempertegas bahwa suatu angkatan baru muncul dalam sejarah, biasanya muncul “caci maki” dari golongan tua.
Pada periode ini juga muncul persoalan “krisis akhlak atau krisis moral” karena maraknya bacaan porografis. Lalu diadakan sebuah diskusi oleh OPI (Organisasi Pengarang Indonesia) pada Oktober 1956 yang diketuai J.C.T. Simorangkir, Sutan Takdir Alisjahbana sebagai pembicara utama, Hamka dan Gayus Siagian sebagai penyanggah.
Diskusi seperti itu diadakan karena dalam kesusastraan mulai muncul novel-novel dan cerpen dalam majalah-majalah hiburan yang secara murahan menggambarkan adegan cabul/pornografis → roman picisan (yang sebenar­nya telah berkembang sejak 1930-an.
Majalah Kisah akhirnya berhenti terbit pada Maret 1957 (terbit mulai Juli 1953). Kemudian muncul majalah Tjerita yang dipimpin oleh Nugroho Notosusanto, tetapi tidak berusia lama.
Pada Mei 1961 terbitlah majalah sastra yang bernama Sastra (dengan direksi dari mantan majalah Kisah: Sudjati S.A., H.B. Jassin, dan M. Balfas). Majalah Sastra ini tidak hanya berisi cerpen tetapi juga puisi, esai, kritik, dan cerpen terjemahan, serta cerita bersambung.
Pada 1964 majalah ini terhenti, kemudian diterbitkan kembali pada 1967 (meski pada penerbitan ke-2 tidak lagi berperan karena munculnya majalah Horison dengan Angkatan Horison atau Angkatan 66).
Pada awal 1960-an sejumlah penerbit mulai aktif menerbitkan buku sastra seperti: N.V. Nusantara, P.T. Pembangunan, Tintamas, N.V. Penerbit Djambatan, P.T. Gunung Agung, Firman Buku Mega Bookstore, Aryaguna, Balai Pustaka, Badan Penerbit Kristen.
Periode Kedua Majalah Sastra
Pada periode ini posisi H.B. Jassin sebagai kritikus sastra Indonesia memiliki peran yang sangat penting. Peran penting Jassin dalam sastra Indonesia:
1)      Kebanyakan sastrawan Kisah dan Sastra menulis berdasarkan “bakat alam” sehingga memerlukan seorang pembimbing seperti Jassin yang mengetahui nilai-nilai sastra;
2)      kritik Jassin yang bersifat apresiatif (sebagai penjelas dan perantara antara sastrawan dan pembaca) mudah diterima oleh pembaca ataupun sastrawan;
3)      Jassin satu-satunya kritikus yang paling tekun dan rajin menulis dalam mengikuti perkembangan sastra Indonesia;
4)      banyak buku-bukunya dipakai sebagai buku pelajaran sastra di sekolah hingga perguruan tinggi.
Beberapa ciri kritik sastra Jassin:
1)      kritik mendidik
2)      menggali kekayaan isi
3)      menilai sastrawan berdasarkan seluruh karyanya
4)      pengetahuan sastra Indonesianya lengkap
5)      lebih mementingkan perasaan dan kepekaan daripada berdasarkan teori-teori ilmiah sastra
Para Sastrawan Angkatan Kisah: (1)
1)      Nugroho Notosusanto
2)      Ajip Rosidi
3)      Subagio Sastrowardojo
4)      W.S. Rendra
5)      Trisnoyuwono
6)      Riyono Pratikto
7)      A.A. Navis
8)      N.H. Dini
9)      Toto Sudarto Bachtiar
10)   Kirdjomuljo
11)   Ramadhan K.H.
Para Sastrawan Angkatan Kisah: (2)
a.       S.M. Ardan
b.      Sukanto S.A.
c.       Djamil Suherman
d.      Yusakh Ananda
e.      Ali Audah
f.        Bokor Hutasuhut
g.       Nasjah Djamin
h.      A. Alexandre Leo
i.        Alwan Tafsiri
j.        Soewardi Idris
k.       Muhamad Ali
l.        S.N. Ratmana
m.    Sirullah Kaelani
Para Sastrawan Angkatan Sastra: (1)
1)      B. Sularto
2)      Iwan Simatupang
3)      Bur Rasuanto
4)      Bastari Asnin
5)      Satyagraha Hoerip
6)      Gerson Poyk
7)      Motinggo Busye
8)      Purnawan Tjondronegoro
9)      Jajak MD
10)   Titie Said
11)   Titis Basino
Para Sastrawan Angkatan Sastra: (2)
1)      Ras Siregar
2)      Fridolin Ukur
3)      Mansur Samin
4)      Usamah
5)      Indonesia O’galelano
6)      Hartoyo Andangdjaja
7)      Poppy Donggo Hutagalung
8)      M. Saribi AFN
9)      Isma Sawitri
           10)   Piek Adijanto Suprijadi


Sastra Angkatan 45


Tahun 1942 (9 Maret = pengambilalihan kekuasaan Jepang di Indonesia) merupakan tahun yang sangat penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, termasuk kesusastraannya. Sejak tahun itu terjadilah perubahan besar-besaran, revolusi kebudayaan dimulai tahun itu.
Segala hal yang mengingat­kan budaya Barat harus dilenyapkan. Bahasa Belanda tidak boleh dipergunakan lagi. Sebagai gantinya dipakai bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di kantor-kantor dan surat-surat keputusan.
Pada tahun itu Pujangga Baru berhenti karena Jepang tidak menginginkan sifatnya yang kebarat-baratan. Sastra Balai Pustaka juga terhenti karena pemerintah Belanda (sebagai pendukung kesusastraan ini) telah tumbang.
Kemudian muncullah angkatan sastra baru, Angkatan 45, yang didahului dengan masa pertunasan (sastra zaman Jepang). Angkatan 45 melahirkan karya-karya sastra yang bersifat romantis realistik (berbeda dengan Pujangga Baru yang bersifat romatis idealistik = HB Jassin).
Dalam waktu yang singkat, Indonesia menghasilkan banyak karya sastra besar pada angkatan ini. Sajak-sajak Chairil Anwar, roman-roman Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis dan Achdiat Kartamihardja merupakan tonggak-tonggak penting dalam perjalanan sastra Indonesia.
Pengalaman kehidupan nyata merekalah yang membuat karya-karya angkatan ini menjadi besar. Angkatan 45 rata-rata terganggu pendidikan formalnya. Kaum sastrawan Angkatan 45 masih termasuk golongan masyarakat menengah, terdidik, dan kaum muda pada zamannya. Sastra Indonesia menemukan identitas dirinya sejak angkatan ini.
Sastra Zaman Jepang
Pada bulan April 1943 terbentuklah Keimin Bunka Shidoso atau Kantor Pusat Kebudayaan. Dalam badan ini duduk berbagai seniman dari segala lapangan.
Dalam zaman Jepang terbitlah majalah-majalah baru yang dikelola oleh Pusat Kebudayaan: Jawa Baru (1943—1945) dan Kebudayaan Timur (1943—1945), di samping Panji Pustaka yang merupakan peninggalan Balai Pustaka, hanya dipergunakan demi kepentingan Jepang.
Para sastrawan dalam Pusat Kebudayaan diminta mencipta­kan karya-karya sastra yang mengandung cita-cita cinta tanah air, mengobarkan semangat kepahlawanan dan semangat bekerja. Karya sastra harus membimbing masyarakat. Indonesia harus memihak kebudayaan Timur, menjauhi kebudayaan Barat. Banyak sajak dan cerpen dihasilkan pada masa ini.
Dua roman yang dihasilkan pada masa ini (Cinta Tanah Air oleh Nur Sutan Iskandar dan Palawija oleh Karim Halim) lebih cenderung sebagai propaganda Jepang. Banyak sastrawan seperti Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, Karim Halim, Usmar Ismail yang bersemangat membantu Jepang. Merekalah sastrawan-sastrawan “resmi” zaman Jepang.
Aada sejumlah sastrawan yang menentang Jepang seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Amal Hamzah. Ada juga yang lebih kompromistis seperti karya-karya Maria Amin. Ada juga yang bimbang seperti Bakri Siregar.
Sastrawan yang banyak menulis pada zaman Jepang:
  Usmar Ismail
  Amal Hamzah
  Rosihan Anwar
  Bakri Siregar
  Anas Ma’ruf
  M.S. Ashar
  Maria Amin
  Nursyamsu
  HB Jassin
  Abu Hanifah (El Hakim)
  Kotot Sukardi
  Idrus
Kelahiran Angkatan Baru
Sejak kekalahan Jepang kepada Sekutu (14 Agustus 1945) dan kemerdekaan Indonesia, kehidupan kegiatan kebudayaan (termasuk sastra) mempunyai tonggak yang penting. Suasana jiwa dan penciptaan yang sebelumnya terkekang, kini mendapatkan kebebasan yang nyata.
Para sastrawan Indonesia merasakan sekali kemerdekaan dan tanggung jawab untuk mengisinya. Individualitas yang diidamkan oleh Pujangga Baru (Sutan Takdir Alisjahbana) dilaksanakan penuh konsekuen oleh Angkatan 45.
Sastra Angkatan 45
            Nama “Angkatan 45” baru diberikan pada tahun 1949 oleh Rosihan Anwar, meski tidak disetujui banyak sastrawan. Keberatan itu karena nama itu kurang pantas ditujukan pula kepada para pengarang, yang notabene berbeda dengan para pejuang kemerdekaan (yang diberi predikat sebelumnya sebagai Angkatan 45).
Ada 4 tokoh utama yang sering dianggap sebagai pelopor Angkatan 45: Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus. Chairil seorang individualis dan anarkhis. Asrul aristokrat dan moralis. Idrus penuh dengan sinisme. Rivai lebih dikenal sebagai nihilis.
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap dari beberapa sastrawan Indonesia yang kemudian hari dikenal sebagai Angkatan '45. Di antara para sastrawan ini yang paling menonjol adalah Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin. Surat ini diterbitkan oleh majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950.

Surat Kepercayaan Gelanggang berbunyi sebagai berikut:

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.

Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.

Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.

Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.

Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.


Angkatan 45 tidak hanya terdiri dari kaum sastrawan, tetapi juga seniman lain, termasuk para pelukis seperti: S. Sudjojo­no, Affandi, Henk Ngantung, Mochtar Apin, Baharuddin; juga para musikus seperti: Binsar Sitompul dan Amir Pasaribu.
Karya-karya sastra kala itu masih diterbitkan bersama dengan sketsa para pelukis, partitur musik, esai musik-lukis-drama-tari. Hal ini menunjukkan bahwa para sastrawan memiliki wawasan luas dalam bidang seni dan budaya pada umumnya.
Perkembangan Angkatan 45 Melalui majalah-majalah :
a.       Panca Raya (1945—1947)
b.      Pembangunan (1946—1947)
c.       Pembaharuan (1946—1947)
d.      Nusantara (1946—1947)
e.       Gema Suasana (1948—1950)
f.       Siasat (1947—1959) dgn lampiran kebudayaan: Gelanggang
g.      Mimbar Indonesia (1947—1959) dgn lampiran: Zenith
h.      Indonesia (1949—1960)
i.        Pujangga Baru (diterbitkan lagi 1948; berganti Konfrontasi: 1954)
j.        Arena (di Yogya, 1946—1948)
k.      Seniman (di Solo 1947—1948)
Aliran Angkatan 45:
Ekspresionisme merupakan aliran seni yang berkembang setelah kemerdekaan diproklamasikan. Ekspresionisme yang mendasari Angkatan 45 sebenarnya sudah berkembang lama di Eropa (penghujung abad ke-19) seperti Baudelaire, Rimbaud, Mallarme (Prancis), F.G. Lorca (Spanyol), G. Ungaretti (Italia), T.S Eliot (Inggris), G.Benn (Jerman), dan H. Marsman (Belanda).
Aliran ekspresionisme timbul sebagai reaksi terhadap aliran impresionisme. Dalam sastra Indonesia, Pujangga Baru bersifat impresionistik dan Angkatan 45 mereaksinya dengan aliran ekspresionistik.
Penyair ekspresionis tidak ditentukan oleh alam, justru penyairlah yang menentukan gambaran alam. Kritikus pertama yang dapat memahami sajak-sajak Chairil Anwar ialah HB Jassin. Kritikus ini pulalah yang membela dan menjelaskan karya-karya Chairil yang bersifat ekspresionis itu.
Berbeda dengan Pujangga Baru yang beraliran romantik impresionistik sehingga melahirkan sajak-sajak yang harmonis, Angkatan 45 melahirkan sajak-sajak yang penuh kegelisahan, pemberontakan, agresif dan penuh kejutan. Vitalisme dan individualisme melahirkan sajak-sajak penuh pertentangan semacam itu.
Karya-karya Penting Angkatan 45:
1.      Deru Campur Debu, Kerikil Tajam (Chairil Anwar)
2.      Atheis (Achdiat Kartamihardja)
3.      Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis)
4.      Keluarga Gerilya (Pramoedya Ananta Toer)
Para Sastrawan Angkatan 45
a.       Chairil Anwar
b.      Asrul Sani
c.       Rivai Apin
d.      Idrus
e.       Pramoedya Ananta Toer
f.       Mochtar Lubis
g.      Achdiat Kartamihardja
h.      Trisno Sumardjo
i.        Mh. Rustandi Kartakusuma
j.        M. Balfas
k.      Sitor Situmorang
l.        Utuy Tatang Sontani
m.    S. Rukiah
n.      Barus Siregar
o.      Rustam Sutiasumarga
p.      Muhamad Dimyati
q.      Saleh Sastrawinata, S
r.        Mundingsari, Gayus Siagian
s.       Dodong Djiwapradja
t.        Mahatmanto, Sirullah Kaelani
u.      Piet Sengojo
v.      Darius Marpaung
w.    Ida Nasution
x.      Siti Nuraini
Nama-nama lain untuk angkatan sastra periode ini adalah:
Angkatan Kemerdekaan
Angkatan Chairil Anwar
Angkatan Perang
Angkatan Sesudah Perang
Angkatan Sesudah Pujangga Baru
Angkatan Pembebasan
      Generasi Gelanggang
 
 

Sastra Pujangga Baru

STA (Sutan Takdir Alisjahbana)  
Sastrawan PB (Pujangga Baru)  merupakan generasi II dalam sastra berbahasa Melayu Tinggi. Para sastrawan ini lahir sekitar 1908. Pemuda-pemuda inilah yang mengumandangkan Sumpah Pemuda 1928. Mereka juga aktif dalam bidang politik guna membentuk negara, bangsa, dan bahasa Ind.
Masa awal PB (nama ini berasal dari majalah yang didirikan oleh STA (Sutan Takdir Alisjahbana), Amir Hamzah, dan Armijn Pane pada Mei 1933) tidak tiba-tiba muncul pada tahun 1933 tetapi didahului oleh usaha serupa oleh sejumlah tokoh. Karya sastra corak PB muncul sejak 1921 (lihat hlm 69).
Armijn Pane
Amir Hamzah
Tujuan majalah Pujangga Baru:
1)    menumbuhkan kesusastraan  
       baru yg sesuai dg zamannya
2) mempersatukan sastrawan baru dalam satu wadah yg sebelumnya  tercerai-berai. Usaha ini terutama dilakukan oleh Armijn Pane ketika dia menjadi sekretaris redaksi dari 1933 hingga 1938.
Maksud semula majalah ini adalah untuk memajukan kesusastraan baru, meski kemudian semakin meluas meliputi masalah-masalah kebudayaan. Majalah ini disambut baik oleh golongan elit nasional, tetapi tidak disambut baik oleh bangsawan, bahkan mendapat kritik dari guru-guru bahasa Melayu.
            Pada tahun 1942 PB dilarang Jepang → karena sifatnya yang kebarat-baratan. 
                  Pada tahun    1949-1953, majalah ini dihidupkan kembali oleh STA tetapi peranannya sudah tidak berarti lagi


Sastra Balai Pustaka


Sastra Balai Pustaka (BP) bukanlah hasil ekspresi bangsa (Ind.) secara murni; sastra BP adalah sastra bertendens, punya maksud-maksud praktis ttt → mendidik bgs Ind agar menjadi Peg. Negeri yang patuh dan tidak ambisius untuk menyamai orang-orang Belanda.
       Keputusan Kerajaan Belanda 30 Sept 1848 kepada Gub. Jend Bld di Ind. diberi wewenang menggunakan dana £.25.000 per tahun untuk pendidikan guna memenuhi kebutuhan pegawai rendah dan juga untuk mengendalikan pendidikan yang telah dilakukan pihak swasta.
Komisi Bacaan Rakyat
Tgl 14 Sept 1908 didirikan “Komisi Bacaan Rakyat dan Pendidikan Pribumi (Comissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur)” yang diketuai Dr. G.A.J. Hazeu dan 6 org anggota. Tugas komisi ini: memberi pertimbangan kpd Dir. Pendidikan dalam memilih karya-karya yang baik (utk sekolah/rakyat). Sejak 22 Sept 1917 Komisi Bacaan Rakyat ini diubah menjadi sebuah badan tetap yang dinamai Balai Pustaka. Selama 6 tahun mereka telah: 
a) mencetak buku-buku bacaan utk anak-anak sekolah dan masy yang terdiri atas seri A: bacaan anak-anak, seri B: buku hiburan dan ilmu penget., seri C: utk yang sudah lanjut penget.-nya; 
b) membentuk perpus-perpus guna lebih menyebarkan bacaan-bacaan tsb. 
Munculnya sastra BP yang kebanyakan berupa roman sebenarnya terjadi karena kebetulan; ketika volkslectuur mengalami jalan buntu untuk menerbitkan buku-buku bacaan yang lebih beragam, tidak  hanya penceritaan kembali cerita-cerita lama saja. Karya terjemahan dalam BP baru mengalami masa subur pada 1920-an dan 1930-an terutama karya-karya dari bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, Rusia, Amerika, India, dan Arab.
       Tersebarnya buku-buku BP disebabkan oleh alasan politis (mengontrol jenis bacaan) sehingga dijual murah.
Tema dan Ciri Ciri Sastra Balai Pustaka
1.      pertentangan kaum muda melawan adat;
2.      kesetiaan pegawai;
3.      anti-nasionalisme;
4.      tema sejarah.
5.      bersifat kedaerahan;
6.      bersifat romantik-sentimental;
7.      bergaya bahasa Balai Pustaka;
8.      bertema sosial, jarang yang menggarap permasalahan watak, agama, atau politik.
Sastrawan Balai Pustaka

Adinegoro  (1904-1966) 

I Gusti Nyoman Panji Tisna (1908 

 Suman Hs (Hasibuan) (1904-?) 

 Merari Siregar (1896-1940) 

Hamka (1908-1981)
Aman Datuk Madjoindo (1896-1969) 

 
   Abdul Muis (1890-1959) 












Marah Rusli (1889-1968) 

   
1.      Merari Siregar (1896-1940)
2.      Marah Rusli (1889-1968)
3.      Mohamad Kasim (1886-?)
4.      Nur Sutan Iskandar (1893-1975) atau “Raja Balai Pustaka”
5.      Abdul Muis (1890-1959)
6.      Tulis Sutan Sati (1898-1942)
7.      Aman Datuk Madjoindo (1896-1969)
8.      Suman Hs (Hasibuan) (1904-?)
9.      Adinegoro (nama aslinya Djamaluddin) (1904-1966)
10.  Sutan Takdir Alisjahbana (1908-?)
11.  Hamka (1908-1981)
12.  I Gusti Nyoman Panji Tisna (1908-?)
13.  Haji Said Daeng Muntu
14.  Marius Ramis Dayoh (1909-?)
15.  dll

Karya sastra BP yang dianggap bermutu antara lain: Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Katak Hendak Menjadi Lembu, Salah Pilih, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, I Swasta Setahun di Bendahulu, Surapati,  dan Robert Anak Surapati.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar